Artikel Islami
28 Juni 2001 - 10:46
Perang Terhadap Pokemon di Saudi, Emirat, Jordania dan Mesir
dari : ia-wutsqo
Di Saudi, Jordania dan Mesir misalnya, bertebaran berbagai selebaran yang menyerukan umat Islam untuk mewaspadai produk film kartun Jepang yang kini banyak digemari oleh kalangan anak-anak tersebut.
Segala bentuk interaksi dengan permainan yang diciptakan di Jepang pada 1995 dan hak ciptanya dimiliki Nintendo ini di Saudi telah dilarang. Baik dalam bentuk informasi iklan, jual beli produk berupa gambar yang biasanya ada pada kaos atau alat sekolah, maupun emutaran filmnya sudah tidak ada di Saudi. Kondisi di Saudi juga terjadi di Emirat Arab.
Sementara di Jordania , selebaran anti Pokemon juga tersebar hampir di seluruh tangan para orang tua. Isinya antara lain menjelaskan sejumlah arti kata-kata yang digunakan dalam permainan Pokemon. Seperti kata Pokemon sendiri, menurut selebaran itu berasal dari bahasa Suryaniya, yang berarti "saya Yahudi". Ada lagi kata Pikachu, yang juga berasal dari bahasa yang sama, artinya "jadilah Yahudi sejati". Selain itu, ada beberapa kata dalam permainan ini yang bermakna hinaan terhadap Allah.
Meski setelah dikonfirmasi ke sejumlah pakar bahasa, umumnya mereka menolak anggapan bahwa kata Pokemon memiliki hubungan dengan bahasa Suryaniya. Artinya, anggapan yang tercantum dalam selebaran itu sendiri belum tentu benarnya. Tapi tetap saja sejumlah pemuda dan nak-anak Jordania telah melakukan aksi pembakaran massal terhadap barang-barang yang memuat gambar Pokemon. Masalahnya memang bukan hanya terkait dengan arti-arti yang belum tentu benarnya itu, permainan pokemon ternyata telah memberi cukup banyak dampak negatif di kalangan anak-anak.
Majalah Time (22 Nopember 1999) dalam cover-storynya menyebutkan : "POKEMON. For many kids it's now an addiction: cards, video games, toys, a movie. Is it bad for them?" Poke-mania atau kegilaan akan pokemon memang telah menghasilkan ketagihan bahkan kecanduan bagi anak-anak, apakah ini jelek untuk mereka? Dan mengapa hal ini dipersoalkan? Rupanya yang jelek dan dipersoalkan adalah kenyataan kandungan ketagihan itu, dan inilah yang akan didiskusikan dalam nomor makalah ini.
Wabah Pokemon sejak lahirnya sudah berdampak terhadap perilaku dan kondisi kejiwaan anak-anak. Di Jepang ketika pertama kalinya ditayangkan sebagai serial TV, serial Pokemon telah menjadi tayangan yang paling banyak dilihat anak-anak, tetapi dampak yang negatip segera terjadi. Pada bulan Desember 1997, 700 anak-anak Jepang dilaporkan meng-alami gejala semacam kesurupan dan pingsan secara serentak dan terpaksa dibawa ke rumah sakit, ketika menyaksikan tayangan Pokemon di TV, dimana dipertunjukkan bahwa Pikachu dan kawan-kawannya mendapat serangan bom dan dalam waktu sejenak kilatan-kilatan listrik yang saling susul terpancar dari pipi Pikachu ketika Pikachu menyerang balik dengan halilintar 'thunder bolt'nya!
Rupanya, disamping kilatan-kilatan cahaya itu mata merah pokemon lain yang berkedip-kedip ikut memberi andil terjadinya gejala mirip kesurupan di kalangan penonton anak-anak yang rata-rata masih kecil itu. Sebagai akibatnya, tayangan itu ditutup selama empat bulan selama pemeriksaan oleh yang berwajib, dan dalam masa itu Nintendo melakukan revisi-revisi dan penghalusan adegan-adegan keras film Pokemon. Namun, sekalipun sudah diperbaiki dan akhirnya diizinkan lagi untuk ditayangkan, tidak urung dampak-dampak lain dialami anak-anak yang menonton serial yang lagi digandrungi anak-anak itu.
Pokemon sendiri banyak diilhami oleh paham mistik Jepang. Kebanyakan karakter dalam permainan ini muncul dari kepercayaan tradisional Jepang, Shinto, Budha, Hindu, kepercayaan-kepercayaan timur lain, serta filosofi-filosifi New Ages (Zaman Baru). Permainan ini mencerminkan prajurit Jepang masa lalu yang hidup dalam kekerasan. Ini direproduksi dalam perjuangan pokemon menundukkan para pokemon lain lewat kekuatan fisik dan kekerasan.
Tiap pokemon memiliki ciri khas atau tipe tersendiri mewakili energinya. Saat ini ada 7 jenis pokemon, yaitu rumput/tanah, api, air, kilat, cenayang/gaib, berkelahi, dan bening/tak berwarna. Sejumlah 150 pokemon memakai kekerasan untuk mengalahkan pokemon yang lain. Bentuk-bentuk kekerasan ini antara lain adalah dengan menggigit/menggerogoti, menebas, menendang, semburan api, getaran gempa, sengatan listrik, racun, semburan cenayang/gaib, pelumpuhan/membuat cacat, dan sebagainya.
Disinilah ide bisnis pokemon berkembang, karena dalam setiap set kartu pokemon tentu tidak semuanya memuat pokemon yang dicari sehingga untuk mengkoleksi lengkap 150 pokemon yang berbeda harus dibeli banyak set kartu. Apalagi, motivasi bisnis para pengusaha menyebabkan banyak kartu yang berisi pokemon populer hanya dicetak sedikit, ditimbun lalu dijual mahal. Untuk Base Set 2, disediakan 130 kartu baru yang tentu dibuat lebih menantang dari Base Set 1 yang sudah menjadi best-seller dimana-mana.
Majalah Newsweek (1 Maret 1999) melaporkan kesaksian seorang ibu bernama Aura Thompson menghadapi anaknya Spencer yang berumur 8 tahun. Ia biasa membangunkan anaknya sebelum jam sekolah, tetapi ini agak sulit ketika demam Pokemon datang, sebab sekarang Spencer bangun jam 6.25 pagi untuk menonton acara 30 menit Pokemon di TV dan bila ramai mengulangnya di siaran lain pada jam 7.00. Sepulang sekolah, pencer langsung bermain 'video-game' dan sekarang ia mulai kecanduan kartu-kartu pokemon.
Shota Yonekura seorang remaja sekolah dasar berumur 13 tahun dalam kurun waktu tiga setengah tahun sudah memainkan video-game pokemon selama 1000 jam dan 500 jam bermain kartu pokemon. Shota memiliki 500 kartu seharga 0 atau sebesar delapan juta rupiah. Bayangkan untuk memperoleh seri pokemon lengkap sebanyak 150 buah Shota menghabiskan uang membeli sampai 500 kartu pokemon, karena tidak semua set kartu berisi kartu yang dicari. Majalah Time juga mencatat bahwa di New Jersey sekelompok orang-tua menuntut penjual kartu ke pengadilan karena mereka berusaha menimbun kartu-kartu sehingga kosong dipasaran dan anak-anak harus membeli set kartu yang lebih banyak.
Yang ditakutkan orang tua lainnya adalah obsesi anak-anak untuk membeli sebanyak mungkin kartu-kartu pokemon karena mereka menganggap bahwa dengan memiliki makin banyak kartu mereka akan makin kuat dan berkuasa atas lawan karena itu terkenallah slogan 'gotta catch'em all' (mereka semua harus ditangkap).
Kata-kata dalam lagu yang dinyanyikan di setiap akhir acara televisi mendorong anak-anak untuk tidak pernah melupakan kekuatan yang ada di dalam kartu-kartu pokemon. Perintah juga ada di setiap kartu pokemon: "Bawalah pokemon bersamamu, maka kamu akan tetap siap untuk apa saja! Di tanganmu ada kekuatan, maka pakailah itu!" Tentu saja anak-anak menempatkan perintah-perintah ini dalam hatinya dan secara fisik juga nyata dengan membawa kartu-kartu pokemon ke mana saja mereka pergi.
Sudah banyak di temui anak-anak membawa kartu-kartu ini saat ke sekolah maupun ke tempat-tempat lain. Anak-anak terdorong untuk melekat kepada kekuatan supranatural daripada kekuatan dari Tuhan. Dikatakan juga bahwa semakin banyak kartu yang dibawa akan semakin besar kekuatan yang diperoleh. Tidak bisa tidak kita bisa simpulkan bahwa pokemon telah menjadi idola dalam hidup mereka, menjadi lebih penting daripada Tuhan.
Penggunaan kartu-kartu pokemon sangat berpotensi membuka peluang bagi kuasa kegelapan menekan anak-anak, setidaknya, lewat aktivitas-aktivitas berikut :
1. Keterikatan, sadar maupun tak sadar, kepada hal-hal gaib yang ada di dalam rekaman-rekaman, kaset, buku, gambar, alat-alat, permainan, dan sebagainya.
2. Mencari atau memberi perhatian besar kepada kekuatan gaib dan pernyataan gaib
3. Kekaguman kepada kekuatan gaib, pernyataan gaib, dan hal-hal mistik secara umum
4. Menghindarkan diri kenyataan, lebih mengandalkan khayalan
5. Tertarik dan terpesona kepada kekerasan, terutama kekerasan yang melawan hukum
6. Meditasi dan hal-hal lain selain mengenal Tuhan dengan benar
7. Pemujaan atau hal-hal lain yang berkaitan dengan penyembahan mistik
Pokemon juga mengajarkan konsep dan filosofi yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Misalnya kekerasan untuk memperoleh kekuasaan, evolusi (perubahan wujud makhluk hidup), konsep new age atau reingkarnasi dan kekuatan mistik, pemakaian barang gaib untuk memperoleh kekuatan yang melebihi musuh dan sebagainya. Bagaimana para pakar pendidikan dan tokoh agama di Indonesia? Menunggu dampak negatif dahulu?
Sabtu, 10 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar